Sekilas organisasi riset pemerintah
Setelah berhasil melakukan pemulihan keamanan dan ketertiban pasca G30S dan menempuh periode pertamanya sebagai Presiden RI (1968-1973), Jenderal TNI Suharto kembali membuat Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Saat itu setidaknya pemerintah RI sudah memiliki LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) dan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) untuk keperluan riset.
Suharto masih kurang puas. Ia berencana memanggil para cendekia Indonesia yang bermukim di luar RI agar pulang dan bekerja untuk kepentingan RI. Namun tujuan tersebut memerlukan dana yang besar, sementara pundi-pundi pemerintah sudah fokus untuk hal lain. Untung saja ada Pertamina yang dari dulu sampai sekarang adalah BUMN terkaya. Dirut Pertamina Letjen TNI dr Ibnu Sutowo pun ditugaskan untuk memanggil para cendekia ini. Salah satu cendekia yang diajak adalah Rudi Habibie yang kebetulan dikenal oleh Suharto saat ia masih perwira menengah. Rudi terajak dan dibuatkan 1 divisi Pertamina untuknya. Divisi ini menjadi basis riset untuk industri strategis yang telah berdiri sebelum Orde Baru.
Setelah ditunjuk kembali oleh MPR untuk masa jabatan ke-3, Suharto mengangkat Rudi sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Frase menteri negara artinya menteri tersebut tidak mengepalai departemen. Apakah berarti Rudi minim wewenang? Tidak juga. Divisi Pertamina yang dulu ia kepalai pun diubah menjadi BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan lingkup kerja lebih luas dan ia sendiri menjabat Kepala BPPT. Mengapa tidak LIPI saja yang diobok-obok oleh Rudi? YNTKTS. Namun dengan ada BPPT dan LIPI tentu #pengadaan lebih lancar. Setidaknya sampai tahun 2006, Menteri Riset dan Teknologi masih merangkap Kepala BPPT. Mengapa? YNTKTS. Selama ini LIPI dan BPPT kadang masih mengerjakan hal yang sama, walau juga telah terjadi pembagian tugas.
Agar keperluan riset pemerintah semakin efisien (tidak mengerjakan hal yang sama pada instansi yang berbeda), maka Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pun dipindah ke Kementerian Riset dan Teknologi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2014 oleh Presiden Jokowi. Perpindahan ini agar riset perguruan tinggi negeri terintegrasi dengan lembaga riset pemerintah yang dibina oleh Kementerian Riset dan Teknologi. Namun setelah berjalan selama 5 tahun ternyata hasilnya tidak sesuai harapan sehingga Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dikembalikan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Presiden Jokowi masih tidak menyerah agar riset pemerintah semakin efisien. Maka sesuai konten kampanyenya pada Pilpres 2019, ia membuat Kementerian Riset dan Teknologi serta semua badan atau pusat penelitian dan pengembangan milik kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian melebur ke dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Namun bukankah di Undang-Undang Kementerian Negara disebut bahwa keperluan riset dan teknologi mesti diurus oleh menteri? Betul dan Presiden Jokowi mengubah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Mengapa tidak ada menteri khusus untuk riset dan teknologi? Kebetulan saja jumlah menteri sudah maksimal dengan dibuatnya jabatan Menteri Investasi. Jumlah menteri maksimal menurut Undang-Undang Kementerian Negara adalah 34 menteri.
Apakah BRIN akan dikoordinasikan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi? Tidak. Dengan tidak ada menteri apakah urusan riset akan terbengkalai atau semakin baik seban tidak diatur menteri? YNTKTS. Apakah nanti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi akan tumpang tindih dengan BRIN? Jika melihat Peraturan Presiden terbaru tentang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sih belum.